Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto, berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memulihkan marwahnya usai mengeluarkan putusan nomor 90 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Putusan tersebut dinilai bermasalah dan syarat konflik kepentingan karena diputus oleh Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran.
“Kita ingin Indonesia abadi tetapi apakah itu akan terjadi sedikit demi sedikit akan ditentukan apakah bangsa Indonesia bisa memulihkan kesalahan-kesalahannya dalam hal ini adalah kesalahan dengan putusan MK 90 jadi itu harus dipulihkan dari putusan yang sekarang, itu harapan kita,” kata Sulistyowati dalam diskusi bertajuk ‘Landmark Decision MK’ di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/4).
Apalagi, kata Sulistyowati, putusan 90 terkait syarat capres-cawapres dianggap sebagai hukum positif yang tidak bisa diubah substansinya meskipun dianggap merugikan. Jadi MK lewat gugatan Pilpres ini harus bisa membuat terobosan.
“Kemudian itu ditegakkan dalam suatu sistem yang menggantungkan ini pada bagaimana fakta sosial distandarkan sebagai otoritas resmi yang diakui melalui produk legislatif dan keputusan yudikatif. Pokoknya kalau hukum sudah jadi, sudah kuat enggak bisa diapa-apain meskipun isinya substansinya merugikan atau apa seperti putusan MK itu contoh paling tepat kalau sudah jadi putusan enggak bisa diapa-apain,” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan putusan 90 sejak awal sudah bermasalah.
Sebab, kata dia, dalam pengambilan keputusannya, tak ada mayoritas hakim yang sepakat Wali Kota bisa menjadi cawapres-cawapres.
“Keputusan 90 bahwa tidak terdapat suara mayoritas yang menyebutkan apa maksud dari keputusan itu empat menolak untuk elected official bisa menjadi alternatif syarat capres cawapres karena menurut pasal 169 hanya yang sudah berusia 40 tahun saja yang boleh menjadi capres-cawapres,” ucap Feri.
Dia menuturkan, dalam pengambilan keputusan hanya dua hakim yang menyatakan setuju syarat capres-cawapres diubah, namun tidak menyebut setara jabatan wali kota, tetapi Gubernur.
“Dan putusan MK tidak menjelaskan mode alternatif apa selain usia itu empat (hakim) katakan tidak boleh sama sekali, tiga (hakim) katakan boleh Guntur, Paman Usman, dan hakim yang baru diganti beliau orang Medan, dua orang lagi Hakim Enny dan Hakim Daniel hanya boleh kalau dia gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah lalu kenapa kesimpulannya walkot juga boleh? Siapa yang membuatnya mayoritas,” ucapnya.